Nyoblos atau golput?



Empat pasang calon pilkada kabupaten Garut yakni pasangan petahana Rudy Gunawan-Helmi Budiman yang diusung partai PKS, Gerindra dan NasDem, Agus Hamdani-Pradana Aditya Wicaksana yang diusung partai PPP, Hanura dan PAN, Alirahman-Dedi Hasan Bachtiar yang diusung partai Golkar dan PDIP serta satu pasangan perseorangan Suryana-Wiwin. Mana menurut kamu yang pantas memimpin Garut? Apa alasannya?

Jason Brennan, seorang filsuf dari Georgetown University, dalam bukunya The Ethics of Voting, mengatakan bahwa mendorong orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memilih, bukan cuma hal yang sia-sia, tapi juga salah secara moral. Memilih bukanlah sebuah kewajiban, tapi bagi banyak orang mungkin sebaiknya punya kewajiban untuk tidak memilih.

Pertanyaan berikutnya adalah: pemerintah tahu bahwa sebagian besar rakyatnya tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik dan cerdas, lalu mengapa semua orang disuruh nyoblos, bahkan yang golput sampai dijadikan sebuah stigma sosial? Seolah-olah pemerintah negara ini memang senang dipilih oleh rakyat yang tidak paham (rakyat yang memilih paslon karena diimingi-imingi sesuatu atau memilih secara ngasal), seolah-olah sistem pemilu ini memang dibuat untuk orang bego yang gampang disetir.  Saya tidak ingin terdengar seperti penggemar teori konspirasi, tapi harusnya kejanggalan ini mengusik siapapun yang bisa berpikir kritis.

Saya tidak tau harus milih yang mana, karena saya tidak punya kapasitas untuk memilih mana yang terbaik diantara ke empat paslon tersebut. Jadi untuk apa saya harus memilih?

Saya memilih karena saya punya harapan untuk Indonesia.” Ya, kedengarannya indah dan menyentuh, bagi saya ini adalah argumen yang hanya memberikan penghiburan semu. Ngarep itu virus yang berbahaya, karena ngarep membutakan mata seseorang dari fakta yang sebenarnya. 

Kalau melihat seorang wanita yang tetap tinggal bersama dengan seorang pria yang selalu menyakitinya, menganiaya dirinya secara fisik dan mental, selingkuh berulang kali selama bertahun-tahun, tapi tetap berharap bahwa suatu saat sang pria akan berubah, tentu kamu akan menyarankan dia untuk berhenti berharap dan meninggalkan sang pria. Kamu bisa melihat betapa sang wanita tenggelam dalam delusinya sendiri karena sudah sekian lama terkungkung dalam penderitaan sehingga tidak bisa melihat fakta yang begitu jelas di mata orang lain: pria itu tidak akan berubah, dia tidak layak untukmu, pergi tinggalkan dia dan cari kebahagiaanmu sendiri!

Tapi kalo soal politik kok tiba-tiba kamu jadi sama dengan wanita tersebut? Setelah puluhan tahun dan berkali-kali pemilu kamu terus dibohongi, dieksploitasi, ditelantarkan, dikhianati, diperkosa oleh penguasa, tapi masih saja tetap berharap suatu saat keadaan akan berubah? Melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah sebuah kegilaan. Posisi kamu seperti kasus wanita diatas, dan posisi saya adalah orang luar yang kasihan melihat kamu ngarep.

Mungkin saya sok tahu, mungkin pesimisme saya didasari oleh sakit hati, tapi rasanya wajar untuk kehilangan kepercayaan ketika sudah dikecewakan berulang kali. Seperti seseorang yang selalu dikecewakan dalam kisah percintaannya, wajar kalau ia jadi sedikit terlalu berhati-hati, selalu waspada, curiga  dan tidak mudah percaya janji-janji manis lagi.

Mungkin saya salah terlalu sinis terhadap pemerintah, mungkin setelah pilkada kali ini keadaan akan membaik, hukum akan ditegakkan, korupsi diberantas, pendidikan diperbaiki, kesehatan diperhatikan, dan kesejahteraan akan makin merata.  Kalau memang saya terbukti salah, justru itu yang saya inginkan. Tolong buktikan kalau saya salah! Kalau saya boleh berharap, harapan saya adalah agar saya salah.  There’s nothing I want more than to be proven wrong. Tapi sampai hari itu terjadi, rasanya saya akan tetap pada pendirian saya.

“Jangan golput, karena suaramu berarti.” Ini juga argumen klasik yang selalu dikumandangkan oleh agen-agen propaganda demokrasi, entah dibayar berapa mereka ini. Bukan saja argumen ini lemah, tapi juga salah secara matematika. Iya, suara kamu berarti dalam pemilihan ketua kelas misalnya, di mana pemilihnya hanya beberapa puluh orang. Tapi dalam pemilu skala nasional, suara kamu tidak lah sebegitu berartinya. Kecuali kamu Ketua NU atau LSM yang bisa membawa ribuan atau jutaan suara pemilih, suara kamu seorang nyaris tidak bernilai.

Dengan memilih kita sudah ikut memberikan kontribusi pada masa depan negara.” Banyak orang merasa puas ketika nyoblos, merasa bahwa dirinya sudah memberikan sumbangsih pada negara, merasa sudah melakukan tugas sebagai warga negara yang baik. Tapi itu semua hanya masturbasi moral, karena pada kenyataannya nyoblos secarik kertas tidak akan mengubah apapun. Sejak negara ini merdeka hingga hari ini, pemilu hanya menguntungkan kelompok penguasa yang sama, saya menyebutnya Gank L4 (Lu Lagi Lu Lagi). Negara ini adalah oligarki yang berkedok demokrasi.  Pemilu di negara ini adalah sebuah sistem ilusi di mana rakyat seolah punya andil menentukan nasib negara. Gak perlu lah saya jelaskan panjang lebar, karena jelas kamu kan lebih mengerti politik daripada saya.

Sama seperti memberikan uang seribu rupiah pada anak jalanan tidak akan mengubah keadaannya, melainkan hanya membuat kamu puas atas diri kamu sendiri karena telah melakukan sebuah kebaikan. Sama seperti mematikan lampu selama sejam untuk menghemat energi dan kamu bilang; "wah saya sudah melawan global warming..!!" kenyataannya itu tidak akan mengubah apapun, begitu juga dengan pemilu, tidak akan mengubah apapun, tapi, hey, setidaknya nyoblos bisa bikin kamu jadi happy dan merasa menjadi orang baik.

Komentar