Nonton Bola Bersama Bapak
"Ini yang menarik dari sihir bola, menumbuhkan ingatan pada berbagai macam peristiwa."
Sepakbola selalu mengingatkan saya pada Bapak. Saya menjadi anak yang paling dekat dengan Bapak. Hampir apa saja hobi Bapak, selalu melibatkan saya. Salah satu hobi Bapak adalah nonton bola di Televisi. Biasanya setiap ada pertandingan sepak bola, Bapak selalu ngajak saya nonton bareng sambil ditemani cemilan kacang garuda dan secangkir kopi. Saya punya adik lelaki tapi gak suka bola kaki. Jadi ya sudahlah. Kami nikmati pertandingan berdua saja.
Nah, mulai dari situlah saya jadi suka dengan olahraga sepakbola. Sama seperti Bapak, saya jadi suka nonton pertandingan sepakbola dan terbawa oleh euforianya. Saya tumbuh pada masa Serie A sedang jaya-jayanya, jaman Paolo Maldini dan Del Pierro lagi keren-kerennya. Wah jaman itu rasanya ingin sekali punya jersey dari tim mereka. Dan ketika Bapak membelikannya, rasa senang saya tak terkira. Dari Bapak, saya kenal sepakbola. Dari Bapak, saya tahu sepakbola bukan sekedar olahraga.
Saya lebih senang menonton di rumah dengan Bapak. Walau sering bicara, sepakbola adalah bahasa lain yang lebih intim. Saya merasa lebih dekat tanpa didekap. Kami sama-sama teriak, kecewa, dan omel-omelin wasit juga.
Pernah suatu ketika, Mamah sedang sakit gigi. Saya lupa pertandingan apa malam itu, yang jelas Liga serie A Italia, kami memang lebih sering tonton liga Italia. Dalam satu kesempatan, gol tercipta. Kami teriak sekencangnya. Itu gol yang indah seingat saya. Sejurus kemudian Mamah keluar kamar dengan pipi ditopang. Dia mengomel. Dan seperti dibekukan, kami diam. Gerutu campur marah itu selesai dan Mamah kembali ke peraduan. Saya dan Bapak saling pandang. Tertawa sambil menjaga diam.
Perilaku itu tak berhenti di situ. Bapak sering bawel kalau pertandingan tak kunjung dimulai. Dari komentator yang kebanyakan omong, sampai iklan yang tak kunjung selesai, habis diomeli. Apalagi jika dirasanya jeda antar babak terlalu lama.
Suara-suara semacam itu yang tidak ada lagi sekarang. Dulu saya sempat merasa terganggu, tapi kini malah rindu.
Jauh sebelum eranya TV kabel, jika dibandingkan, saya lebih anteng ketimbang Bapak untuk urusan nonton bola. Saya menerima apa adanya gambar di televisi. Ada semut-semut sedikit tak jadi soal, asal masih bisa dibedakan mana tim A, mana tim B. Kalau Bapak, lebih nyaman gambar jernih. Mungkin terdengar seperti anak durhaka, tapi memang lebih sering Bapak yang keluar untuk putar antena.
Potongan adegan itu terus hadir. Sialnya, kita tak bisa melawan takdir.
Mungkin ada masa-masa saya merasa Bapak sok tahu. Tapi saat ini Bapak pasti tahu, selepas kepergiannya laga-laga sepakbola di layar kaca tak lagi jadi idola. Teriakan berubah jadi jerit kerinduan. Tawa dan suara-suara semangat itu suram menyedihkan. Waktu memang tidak bisa diulang, tapi kenangan lebih sering tergenang.
Seandainya ada waktu sekali saja untuk bertemu dengan Bapak. Saya ingin menonton piala dunia 2018 bersamamu, Bapak. Pasti akan sangat menyenangkan.
Walaupun sudah menjadi memori, Bapak tak akan pernah pergi dalam do'a.
رَّبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
رَّبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
Komentar
Posting Komentar