Kunamai Engkau Cinta Platonis
Masih ingatkah kalian dengan sepenggal liriklagu riwayat sheila on 7 ini;
"Akulah orang yang selalu menaruh bunga
Dan menuliskan cinta di atas meja kerjamu
Akulah orang yang kan s'lalu mengawasimu
Menikmati indahmu dari sisi gelapku
Dan menuliskan cinta di atas meja kerjamu
Akulah orang yang kan s'lalu mengawasimu
Menikmati indahmu dari sisi gelapku
Dan biarkan aku jadi pemujamu
Jangan pernah hiraukan perasaan hatiku
Tenanglah, tenang pujaan hatiku sayang
Aku takkan sampai hati bila menyentuhmu."
Jangan pernah hiraukan perasaan hatiku
Tenanglah, tenang pujaan hatiku sayang
Aku takkan sampai hati bila menyentuhmu."
Yups, menjadi pengagum rahasia atau mencintai seseorang secara diam-diam selalu terasa sadis. Kedua hal tersebut identik dengan perasaan sepihak, takut cintanya tak berbalas, atau malah bertepuk sebelah tangan. Orang-orang yang bertahan dalam cara mencintai seperti di atas saya anggap memiliki ketulusan yang luar biasa.
Meski terus berusaha menahan gundah karena tidak mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, toh rasa cinta itu tetap ada, atau justru bertumbuh lebih besar. Tapi ternyata, ada orang yang memang menikmati cara mencintai diam-diam tersebut. Cinta yang semacam itu disebut sebagai cinta platonis. Platonis agaknya familiar di telinga kita karena teringat pada seorang filsuf besar Yunani bernama Plato.
Dalam naskah berjudul “Symposium”, Plato mencetuskan istilah cinta platonis yang intinya adalah cinta terhadap jiwa lebih sejati daripada cinta terhadap tubuh. Plato merupakan seorang filsuf yang menggagas pemikiran mengenai dunia ide (imajinasi). Dalam dunia ide, kita bisa menciptakan apa saja seideal dan sesempurna mungkin. Sedangkan apa yang ada di dunia nyata atau realitas hanyalah sebagian perwujudan dari gambaran sempurna di dunia ide.
Dari gagasan tersebut, Plato menyebutkan bahwa hal-hal dalam dunia ide (imajinasi) yang diwujudkan ke dunia nyata menjadi tidak ideal lagi, tidak sesempurna gambaran yang diciptakan oleh pemikirnya.
Cinta platonis, ya saya menikmatinya. Bermula dari kekaguman, kemudian tersadar bahwa ini tidak berlalu begitu saja. Rasa ini terus tumbuh dan semakin tertanam di setiap waktunya. Apalagi jika bertemu, ada semacam euforia yang begitu hebat.
Entah mengapa begitu sulit untuk tidak jatuh hati pada sesosok wanita itu. Saya tau bahwa saya tidak akan pernah bisa memilikinya, saya tau saya tidak akan bisa memasuki hatinya. Namun hanya dengan melihatnya saja, saya bahagia. Saya menikmati posisi ini, yang dari jarak seberapapun tak akan terasa mengusik baginya. Berada di titik ini sudah memberikan kebahagiaan luar biasa, menjanjikan kelegaan bisa menjaganya tanpa mengubah apapun dalam dirinya. Malah saya harap dia tidak akan pernah tau. Biar bentuk perasaan ini terus saja begini.
Bohong jika saya mengatakan bahwa ini selalu menyenangkan. Tidak sama sekali. Cinta platonis itu menyakitkan di waktu yang bersamaan. Menyakitkan melihat dia yang tidak pernah melihatmu, menyakitkan melihat dia tidak memprioritaskanmu sementara dia ada diurutan nomor satumu, menyakitkan melihat dia bersama dengan lelaki lain, menyakitkan melihat orang lain semudah itu menjangkaunya sementara kita hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Saya mengerti betul apa yang saya lakukan, saya mengerti betul apa yang saya rasakan, saya tau betul resiko apa yang akan saya dapatkan. Menjadikan seseorang sebagai cinta platonis adalah sebuah pilihan.
Mantap jiwa
BalasHapus