Sekawanan Risau
Sesekali saya ingin bertanya pada Tuhan tentang hujan; pernahkah hujan diberi kesempatan untuk memilih sendiri ke tempat mana ia ingin jatuh? Atau semuanya murni karena kehendak-Mu, takdir-Mu?
Di antara syahdunya lantunan sakral pelambat waktu, saya terpaksa menjamu sekawanan risau yang seketika bertamu. Ramai-ramai mereka menanyai saya, “Akankah engkau berada disitu? Bila iya, akankah senyummu tiada palsu?"
Semoga. Semoga begitu. Tiada jawaban lebih lugas dari itu. Jika ini perihal keras kepala saya, entah apa yang mampu membuatnya beringsut. Saat kebanyakan orang mendamba untuk dipuja, punggung saya kerap menjadi wajah yang melayukan niat para pesinggah. Hal itu sungguh saya sadari lebih dari siapapun.
Riuhnya degup jantung ialah suatu kelangkaan yang agung. Hangat mendesir, nafas menderu, gelitik kupu-kupu, betapa mahalnya semua itu. Mencinta dan dicinta dalam satu waktu hanya milik segelintir yang beruntung. Maka seperti mustahil untuk lekas-lekas menyanggupi rengekan Ibu. Bahwa kelak sesudah saya menikah, ketika saya bekerja, selain pada istri, saya dapat mempercayakan miniatur saya pada lengan-lengan Ibu yang kian hari semakin kurus.
Ibu pasti sedikit cemas bila mengetahui bahwa pekerjaan impian saya hanyalah duduk-duduk di suatu kamar yang dipenuhi rak-rak buku, bersama laptop dan koneksi internet, dengan meja dan kursi yang cukup nyaman untuk saya membatu. Meski kelak ruangan itu hanya terselip di dalam rumah saya, bagaimanapun juga menulis ialah kesempurnaan bagi para penyepi yang kerap ingin pergi jauh membawa segala ketidakberdayaannya. Sehingga kelak saya tidak perlu banyak-banyak merepotkan istri dan Ibu dengan menitipkan duplikat mungil saya yang rakus dan lucu. Juga tidak sulit pula untuk sekadar meramaikan isi tudung saji atau menghiasi pintu pendingin dengan puisi-puisi yang menggelitik.
Bahkan jika hidup saya kekurangan tiga-empat prosesi, barangkali saya dapat mati tersenyum usai menciptakannya dalam dunia saya sendiri. Ah, bukankah pilihan dan takdir selalu berdebat dan mengacungkan jari telunjuknya pada satu sama lain?
Namun yang terpenting, pada lembaran di Ms words, saya dapat menggenggam dan membolak-balikkan hati siapa saja layaknya malam yang mampu berubah bentuk. Saya dapat menuliskan diri saya sendiri, juga "dia" sebagai perempuan yang mampu membuat saya jatuh hati. Sehingga jika harus menghabiskan hidup bersama orang lain sembari memelihara benih-benih, saya akan mengusahakan seseorang yang sungguh-sungguh saya cintai dengan sepenuh hati.
Di antara syahdunya lantunan sakral pelambat waktu, saya terpaksa menjamu sekawanan risau yang seketika bertamu. Ramai-ramai mereka menanyai saya, "Akankah engkau berada disitu? Bila iya, akankah senyummu tiada palsu?"
Semoga. Semoga begitu. Bila tiada sempat, atau barangkali sempat namun bibir saya gemetar selagi tersenyum, itu berarti, impian saya tinggal bertumpu pada lembaran di Ms words yang akan menjadi pelabuhan terakhir bagi harapan-harapan saya yang tengah letih mengarungi dunia nyata. Dan jari jemari saya akan menjelma sepasang dayung yang tiada mudah terhanyut hampa.
Wadawakadadaw
BalasHapus