Puisi Seperti Kehidupan
Masihkah kita harus bersengketa
ketika hari hampir habis
dan doa hanya menjadi ritus ala kadarnya?
Sementara daun-daun tak sekalipun
menebak ke mana angin akan meniupnya.
Seperti kita manusia
yang amat kecil di hadapan rahasia,
yang tak sepenuhnya berkuasa
atas jatuh-bangun kita.
(Di Hadapan Rahasia – Adimas Immanuel)
Karena puisi seperti kehidupan: akan indah pada waktunya. Ketika kita dalam keadaan biasa, puisi seolah-olah dangdut. Tapi ada kalanya kita begitu menyukai puisi. Saat hati dan bait syair dalam satu frekuensi. Kematian, jatuh cinta, sakit hati, marah dan kondisi emosi lainnya.
Ketika matahari akan, sedang dan sesaat setelah gerhana, sejatinya alam sedang berpuisi. Menciptakan panggung dengan caranya sendiri. Seketika kita kembali memusatkan perhatian pada alam sekitar. Pada gerak angkasa raya. Bahwa sejatinya kita melayang, dengan planet bumi sebagai pesawatnya. Mengarungi jagat raya. Kita kecil.
Ketika menulis Dan Sesungguhnya saya sedang menelusuri jalan hidup. Mana yang dapat disebut puisi dalam derap langkah sehari-hari. Pergantian lampu lalu lintas, misalnya. Kita tunduk untuk berhenti. Lalu melintas sekumpulan anak sekolah yang tak berhenti bercanda. Ada yang berlari. Ada yang menertawakan temannya. Lalu lampu kembali hijau. Kendaraan berpacu melintasi persimpangan jalan. Beberapa pasang mata berseragam sibuk mengamati apakah ada kendaraan yang bisa dihentikan karena kesalahan.
Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.
(Menikmati Akhir Pekan – Aan Mansyur)
Pasti kita pernah menulis puisi. Atau setidaknya membaca puisi. Tapi sejatinya kita lebih sering berpuisi lewat tubuh kita.
Puisi adalah kata-kata. Tapi ada yang bilang begini. “.. kata-kata sebetulnya tak pernah sebebas tubuh“. Tubuh kita pun dapat berpuisi. Bahkan tubuh kita jauh lebih bebas untuk berpuisi. Saat menari tubuh kita sedang berpuisi. Saat berlari, nafas dan kaki kita sedang asyik berpuisi. Deru nafas mimpi. Saat memandang seseorang yang kita inginkan, tubuh kita berpuisi: hati tiba-tiba anget, darah berlari kencang, mata berbinar-binar dan senyum yang merekah. Fisik kita sedang merespon keindahan yang dipindai olehnya. Puisi yang begitu alamiah.
Bagi saya puisi itu seperti kopi ekspresso. Saripati kopi tanpa susu. Sedangkan kalimat saat berbicara atau menulis adalah capucino, bahkan Latte. Kalimat yang penuh dengan tambahan susu agar lebih ringan. Puisi secukupnya. Hanya perasan biji hati yang diaduk dengan perasaan dan isi kepala. Jika diteguk itulah rasanya suasana hati saat itu. Ringkas. Padat. Berisi.
Banyak yang tak menyukai puisi. Karena memang suasana hatinya sedang tak perlu itu. Tapi jika suatu ketika nanti, tubuhnya, perasaannya, bertemu dengan keindahan yang murni, hatinya segera berpuisi. Dag-dig-dug. Darahnya akan berpuisi. Berhenti mengalir atau justru mengalir deras. Matanya berkunang-kunang atau malah semakin melotot. Jemarinya kaku atau malah tak bertenaga. Respon tubuh saat berpuisi. Keringat deras mengalir.
Jika berlari, atau bersepeda adalah bagian dari olahraga, maka menulis atau berpuisi adalah bagian dari olahrasa. Kita seringkali cemas tak pernah berolahraga, apakah cemas juga saat jarang sekali berolahrasa?
Lalu, bagaimana dengan olahrasa paling efisien? Bagaimana wujud nyata puisi sebagai pusaka paling indah bagi sejuta umat manusia di dunia?
Penyair Abdul Hadi WM menggambarkan situasi ini dalam satu bait puisi indah.
“Kau di sampingku / Aku di sampingmu / Kata-kata adalah jembatan /Waktu adalah jembatan /Tapi yang mempertemukan / …
Jika raga butuh olahraga, maka jiwa butuh olahrasa.
https://youtu.be/lruVDsA_RNk
Jika raga butuh olahraga, maka jiwa butuh olahrasa.
https://youtu.be/lruVDsA_RNk
Komentar
Posting Komentar