Tak Sampai
Mujur anganku kedap suara
tanpa mengenal selatan utara.
Menyekap peluru-peluru mendidih
yang membujukmu berbelas kasih.
Tanganmu tanganku, serupa perunggu
yang menunggui ubin-ubin
menggigil.
Tatapmu tatapku, seringan bludru
yang mendarati sekat-sekat
terpencil.
Menyirat denting pertama
yang menjemput renyut nadi
usai seperempat purnama
hinggap di bibir-bibir.
Tak jua tersulut, katamu,
berjengkal-jengkal dari pijakku.
Hanyalah aku seonggok kayu
di rumah-rumah tanpa tungku.
Hampir akal terjungkir,
terbombardir;
desak pretensi, menjelang karam,
retas imaji, muslihat malam.
Syukur pagi menguping,
bernyaring-nyaring;
pusara tanya, nasihat petang,
menafsir tuah, menelan berang.
Redamu redaku, serupa belenggu
yang menyimpul mati
dirinya sendiri.
Senyapmu senyapku, selegam mesiu
yang membakar habis
dirinya sendiri.
Aku meraba tanduk
di kepala malam.
Beringasnya mencidera
pagi, menyulut elegi.
Lingar memburu fiksi
yang tiada berdenyut nadi.
Berkali-kali, tirakatku
menjadi bayi
yang menghisapi ibu jari.
Barangkali mimpi ialah
ruang temu termutakhir
bagi tangkai yang merajak
di tanah-tanah kering.
Kala anganmu tak bermuara
tanpa mengingat selatan utara.
Menyekap lekuk-lekuk terbening,
menyisihkanku sampai ke tubir.
tanpa mengenal selatan utara.
Menyekap peluru-peluru mendidih
yang membujukmu berbelas kasih.
Tanganmu tanganku, serupa perunggu
yang menunggui ubin-ubin
menggigil.
Tatapmu tatapku, seringan bludru
yang mendarati sekat-sekat
terpencil.
Menyirat denting pertama
yang menjemput renyut nadi
usai seperempat purnama
hinggap di bibir-bibir.
Tak jua tersulut, katamu,
berjengkal-jengkal dari pijakku.
Hanyalah aku seonggok kayu
di rumah-rumah tanpa tungku.
Hampir akal terjungkir,
terbombardir;
desak pretensi, menjelang karam,
retas imaji, muslihat malam.
Syukur pagi menguping,
bernyaring-nyaring;
pusara tanya, nasihat petang,
menafsir tuah, menelan berang.
Redamu redaku, serupa belenggu
yang menyimpul mati
dirinya sendiri.
Senyapmu senyapku, selegam mesiu
yang membakar habis
dirinya sendiri.
Aku meraba tanduk
di kepala malam.
Beringasnya mencidera
pagi, menyulut elegi.
Lingar memburu fiksi
yang tiada berdenyut nadi.
Berkali-kali, tirakatku
menjadi bayi
yang menghisapi ibu jari.
Barangkali mimpi ialah
ruang temu termutakhir
bagi tangkai yang merajak
di tanah-tanah kering.
Kala anganmu tak bermuara
tanpa mengingat selatan utara.
Menyekap lekuk-lekuk terbening,
menyisihkanku sampai ke tubir.
Komentar
Posting Komentar