Ilmu Agama dan Astronomi Membentuk Kerendahan Hati

Setiap manusia pada dasarnya adalah bibit unggul. Dulu kita memenangi kompetisi melawan puluhan juta sel sperma lainnya, untuk mencapai sel telur itu lebih dulu. Mungkin bisa jadi itu alasan kenapa manusia selalu dekat dengan kesombongan. Mungkin..

Kesombongan itu berbahaya sebab bisa memancing kita untuk bereaksi dengan kesombongan pula. Akan tetapi, justru karena begitu berbahaya itu, saya cenderung sepakat bahwa ia boleh dihentikan dengan cara apapun, termasuk diberi "pelajaran". Pelajaran itu tak cuma baginya, tapi juga yang lain.

Ada dua cara untuk mengurangi bakat sombong: belajar agama atau cari-cari tahu soal astronomi. Agama, jika dihayati dengan benar, akan menyadarkan kita tentang ketidaksiapa-siapaan kita di hadapan Sang Serba Maha. Cuma debu yg larut dalam keniscayaan samudera kehendak-Nya.

Demikian pula astronomi, akan menyadarkan kita tentang kerdil dan tak berartinya kita di sudut semesta. Kita bukanlah pusat alam raya. Bahkan ada atau musnah bumi yg kita diami ini, sama sekali tak akan ada pengaruhnya.

Foto Pale Blue Dot
"Pale Blue Dot", foto yang diambil oleh Voyager 1, 14 Februari 1990, dari jarak 6 miliar km. Coba temukan di mana bumi? Iya, noktah biru pucat itu. Sekecil itu

Kita "dengar" ulang, pidato Carl Sagan tahun 1994 tentang foto ini, ya. "Kita berhasil mengambil gambar itu. Saat  Anda melihatnya, Anda cuma melihat sebuah titik. Itulah tempat ini. Itulah rumah kita. Itulah kita. Di atasnya ..."

Di atasnya, semua orang yang pernah kamu dengar, semua manusia yang pernah hidup, menjalani hidup mereka. Tumpukan semua kegembiraan dan derita, ribuan agama dan keyakinan, ideologi dan doktrin ekonomi, semua pemburu dan penjelajah, semua pahlawan dan pengecut ...

semua pembangun dan perusak peradaban, semua raja dan petani, semua pasangan muda yang jatuh cinta, semua anak yang berharap , semua ibu dan ayah, semua penemu dan penjelajah, semua guru moral, semua politisi korup, semua superstar ..

semua pemimpin tertinggi, semua orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies kita, tinggal di sana pada sebutir debu, mengapung di bawah sinar matahari. 

Bumi adalah titik yang sangat kecil di gelanggang kosmik yang amat luas. Pikirkan tentang darah yang mengalir, ditumpahkan para jenderal dan kaisar, demi kemuliaan dan kemenangan agar mereka bisa menjadi penguasa sesaat pada sebuh pojok di titik itu.

Pikirkan pula tentang kekejaman yang tak berkesudahan, yang dilakukan penghuni dari satu sudut di titik itu, kepada penduduk di sudut lain. Seberapa sering kesalahpahaman mereka, seberapa berhasrat mereka untuk membunuh satu sama lain, seberapa kuat kebencian mereka.

Angan tentang betapa pentingnya kita, ilusi tentang berartinya diri kita, delusi bahwa kita memiliki posisi istimewa di alam semesta, kini ditantang oleh noktah biru pucat ini.

Planet kita adalah titik renik yang sepi dalam kegelapan kosmik yang menyelimutinya. Dalam kegamangan di keluasan alam ini, tampaknya tak ada gambaran akan datangnya bantuan dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari sesama kita sendiri.

Jadi, terserah kita. Sudah dikatakan bahwa astronomi adalah pengalaman yang membentuk kerendahan hati, dan saya mungkin perlu menambahkan, juga untuk membangun karakter.

Bagi saya, ini menegaskan tanggung jawab kita untuk berhubungan dengan lebih baik dan penuh kasih sayang satu sama lain, dan untuk menjaga dan menghargai titik biru pucat itu, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal.

Ada juga yang belajar agama malah jadi merasa lebih suci dari yang lain, sebagaimana pasti ada pula yang cari-cari tahu soal astronomi jadi merasa lebih pandai dari orang di sekitarnya. 

Lagi pula, tak perlu rendah hati sih, sebenarnya. Tahu diri saja. Ehehe.

Komentar