AGAMA MEMBERIKAN HARAPAN



Kita perlu belajar agama karena agama itu memberikan Hope. Harapan terhadap suatu kehidupan setelah kita mati. Ada kebahagiaan yang bisa kita dapatkan nanti di surga, yang mana kebahagiaan tersebut kekal abadi selama-lamanya. Namun sayangnya tidak semua orang belajar agama dengan tujuan yang sama,  beberapa memilih belajar agama untuk kepentingan duniawi semata.

Pertama, ada orang-orang mendatangi guru-guru agama, ustadz atau kyai untuk mendapatkan pelajaran. Tetapi tak banyak yang tekun, atau bahkan enggan, untuk mendapatkan bimbingan. Mereka cukup puas mendapatkan informasi tentang agama–misalnya, penjelasan atau teori-teori tentang apa itu tawadhu, jujur, zuhud, sabar, qana’ah, wara’, dan seterusnya. Namun, tidak semua mau dibimbing untuk mengerti bagaimana caranya sekaligus mau dan mampu melaksanakannya dalam keseharian.

Seorang kyai pernah mengatakan: saat ini memang masih banyak orang menghormati ulama, tetapi hanya sedikit yang manut.

Memang ada perbedaan antara “mengetahui” dengan “mengamalkan” dan “mengalami”. Orang tahu apa itu definisi Islam. Orang tahu apa arti dari Tauhid dan takwa. Tetapi bagaimana menjalani kehidupan yang penuh masalah dengan pasrah sembari tetap tegak keimanannya adalah perkara lain.

Misalnya begini. Orang biasanya mengatakan bahwa hidup sudah diatur oleh Tuhan, bahwa apa-apa sudah digariskan. Tetapi tidak mudah menyatukan antara kepasrahan dengan ikhtiar untuk mengubah nasib tanpa lepas dari kerangka Tauhid.

Orang terkadang terlalu ngotot “menulis” rencana hidup sendiri tanpa memasrahkan diri kepada-Nya. Pasrah menjadi problematik jika akal, pikiran, dan hati tidak bisa mengembalikan apa-apa yang terlintas, dipandang dan dirasakan ke dalam tenda “wahuwa ‘ala kulli syai-in qadir.” Di sinilah informasi tidak cukup. Karenanya, tidak banyak orang yang bisa mengalami rasa seperti yang dikatakan oleh penyair Rendra, “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja

Kedua, orang belajar dengan tujuan yang juga bagus, memberi tausiyah atau nasihat yang baik. Namun, setiap hari kita membaca nasihat atau tausiyah dibalut dengan kata-kata umpatan, hinaan atau merendahkan kemanusiaan. Kebaikan dan kebatilan bercampur aduk dalam kalimat-kalimat nasihat. Kita seakan disuguhi hidangan lezat yang bercampur taik kebo, sehingga ketika diminta menyantapnya kita nggak kuat.

Pemberi nasihat itu mungkin lupa bertanya pada diri sendiri: apakah Tuhan pasti merestui model bertausiyah dengan gaya semacam itu?

Di sisi lain, kadang kita menyaksikan tausiyah menjadi komoditas, entah untuk menaikkan brand diri, atau karena gaya ceramahnya yang menarik dilihat dan didengar pemirsa sehingga penampilannya bisa menaikkan rating media tayang. Mereka pandai bicara dan fasih memberi tausiyah tetapi kata-kata bagus itu seakan bagai angin lalu, tanpa memberi bekas pada jiwa.

Bahkan ada penceramah yang sampai berani tampil sebagai ahli segala persoalan. Akibatnya, nasihat atau tausiyah lalu seperti iklan tabib tradisional yang mampu mengatasi hampir segala macam penyakit fisik maupun gaib, mulai dari pengobatan santet dan pelet sampai ke pengobatan gagal ginjal, stroke,  diabetes hingga panu, kadas, kurap dan kutu air.

Satu penceramah agama menjadi sumber rujukan segala informasi, mulai dari informasi kesehatan seperti pembalut sebagai penyebab kemandulan hingga informasi ilmu alam untuk menjawab pertanyaan seperti apakah bumi itu bulat, datar, atau montok.

Wa Allahu a’lam.,


Komentar