Review film shoplifters


Uhh,  lama rasanya tidak menulis di blog.  Ini adalah kali pertama saya menulis di tahun 2019. Nampaknya setelah menikah saya jadi kurang produktif bikin karya teman-teman hehe.. 

Kali ini saya bukan mau nulis cerpen atau apa,  for the first time,  saya mau nyoba mereview film. Pernah nonton film “Shoplifters"? Rasanya sebuah kerugian jika diantara kalian masih ada yang belum mengenal Hirokazu Koreeda, sutradara asal Jepang yang selalu menghadirkan tema keluarga yang tidak biasa dalam setiap filmnya. Tidak masalah juga sebenernya jika kalian ingin mengenal Koreeda lewat karya terbarunya ini yang berjudul Shoplifters. Koreeda melanjutkan penjelajahannya tentang makna sebenarnya dari keluarga, dalam Shoplifters (Manbiki Kazoku), ia baru saja memenangkan penghargaan di Palme d’Or di Festival Film Cannes 2018 dan menjadi sutradara Jepang pertama yang memenangkan penghargaan ini sejak Shilei Imamura dalam film The Eelpada tahun 1997. Shoplifters sendiri berfokus pada orang-orang terpinggirkan yang ada di masyarakat Jepang yang berjuang untuk mencari nafkah untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Ini adalah kisah tentang orang-orang terbuang yang berusaha menambal kekurangan satu sama lain bersama dalam ikatan bernama “keluarga”, orang-orang buangan yang percaya bahwa dorongan untuk bertahan hidup bersama dan menciptakan lingkungan pengasuhan yang baik lebih penting daripada kepatuhan yang ketat terhadap norma-norma masyarakat.

Shoplifters menyatukan keluarga dari tiga generasi yang tinggal di pinggiran masyarakat. Sang ayah (Lily Franky) mengajarkan anak lelakinya (Jyo Kairi) untuk mengutil barang-barang yang ada di toko dengan mengatakan kepadanya barang-barang yang ada di rak toko bukan milik siapa pun jadi mereka bebas untuk mengambilnya. Ayahnya juga mengatakan kepada bocah itu bahwa hanya anak-anak bodoh yang harus pergi ke sekolah, itulah mengapa dia tidak pergi ke sekolah. Mereka tinggal bersama putrinya yang lebih tua (Mayu Matsuoka) yang bekerja sebagai wanita penghibur dan sang ibu (Sakura Ando) bekerja di tempat laundry dengan gaji rendah. Mereka hidup bersama sang nenek (Kirin Kiki) di rumah kecil dengan selalu menyembunyikan diri setiap kali ada tamu yang datang berkunjung. Keluarga yang tampak normal ini punya rahasia besar yang dengan perlahan akan terungkap dengan cara yang kita sendiri tidak mengharapkannya.

Kisahnya kemudian berjalan ketika Ayah dan anak lelakinya tadi membawa pulang seorang gadis 5 tahun (Miyu Sasaki) yang diabaikan, mereka menemukannya saat ditinggalkan di balkon apartemen pada malam musim dingin. Pada akhirnya gadis kecil itu pulang bersama mereka, dan masuk ke dalam keluarga, sebuah pola yang telah diulang di masa lalu, perlu kejelian dan kesabaran untuk memahami pola itu sampai akhir. Kehangatan dan kemanusiaan mereka bertentangan dengan ilegalitas dan mengabaikan adat istiadat sosial. Masyarakat mungkin menghakimi orang-orang seperti itu, tetapi dengan memberi kita keintiman dengan mereka, Koreeda menunjukkan bagaimana masyarakat juga dihakimi oleh mereka. Hal itu membuktikan bahwa hidup bukan hanya hitam dan putih semata.

Sudah sangat jelas narasi yang coba dibangun oleh Koreeda adalah tentang mempertanyakan “What is a family?” Pada pandangan pertama mungkin tampak seperti hanya cerita tentang keluarga yang melakukan kejahatan kecil, tetapi plotnya secara bertahap mengungkapkan alasan-alasan perilaku dan keputusan dari masing-masing karakter dan semua mulai terhubung di tengah-tengah perjuangan mereka dalam mengisi satu sama lain. Tentu saja melihat beberapa karakter terlibat dalam perilaku yang sangat tidak bermoral — misalnya, mengutil yang dilakukan oleh bocah laki-laki dan ayahnya — yang sudah jelas tertampang di judulnya, dan seorang wanita muda yang mencari nafkah dari keterlibatan dalam industri pornografi, dapat menjadi tidak nyaman untuk melihat apalagi menghadirkan karakter-karakter tersebut dalam film ini yang kemudia secara kebenaran moral sangat meragukan. Tetapi seluruh situasi di mana orang-orang ini berada, dan sebagian memilih untuk menciptakan diri mereka sendiri, akhirnya disajikan kepada penonton dengan kehalusan yang sederhana, yang indah untuk ditonton. Jika dilihat lagi nada yang ada di keseluruhan film ini cukup suram, dan pasti ada kekuatan emosional mentah untuk banyak adegan, tetapi akting dan naskahnya tidak pernah menjadi terlalu sentimental atau tragis yang berujung kepada suffering porn. Skenario dan emosi yang dihadapi setiap karakter benar-benar disajikan sebagaimana adanya, tetapi tentu saja dengan banyak cita rasa kenikmatan tersendiri.
Sementara Shoplifters berisi unsur-unsur yang menyakitkan untuk ditonton, apa yang kita bawa bersama adalah empati Koreeda yang ditampilkan dalam keindahan momen kecil: Sukacita perjalanan ke pantai, keintiman seksual di antara pasangan yang telah lama ditekan, dan ekspresi pada wajah anak kecil yang sadar, mungkin untuk pertama kalinya, bahwa mereka dicintai.
Semua karakter dalam keluarga ini mempunyai masalah pribadi mereka masing-masing dan hal itu yang menjadikan semuanya memperoleh porsi yang pas dalam perannya. Masalah setiap individu itu tidak lantas memecah belah keluarga itu justru itu yang membuat hubungan keluarga ini menjadi seperti sebuah tim yang selalu kompak dan saling bergantung dalam melibatkan cinta dan perhatian satu sama lain. Nenek memiliki dana pensiun tetapi dia tidak ingin mati sendirian, dan dia peduli pada orang lain dengan persepsi dan emosi yang sangat peka. Bukankah ini menjadi alternatif yang lebih baik dalam menjaga kakek/nenek daripada menempatkan mereka di panti jompo yang jelas akan menambah kesepian mereka. Dan juga meskipun kehidupannya tidak diuntungkan oleh kebijakan pemerintah, ia tidak meminta pemerintah untuk mengubah kebijakannya. Sebaliknya, mereka menerima masalah itu di tangan mereka sendiri dan membentuk eksistensi mereka dengan caranya sendiri.

Seperti film-film Koreeda sebelumnya, Like Father, Like Son atau Still Walking yang selalu menggemakan pentingnya waktu berkualitas bersama keluarga, di film ini juga tetap menampilkan itu. Saat-saat yang paling terasa dalam perkembangan hubungan keluarga ini adalah sewaktu makan bersama, sulit untuk menolak bahwa itu adalah bonding time yang keluarga ini lakukan. Perjalanan ke pantai secara alami mengarah dalam pendidikan seks antara ayah dan anak. Semua ini membutuhkan orang dewasa dengan sensitifitas tinggi dan rasa pengertian yang besar untuk dapat mencintai sesamanya tanpa memandang faktor lain yang bisa jadi itu memang berbeda. Ini bisa menjadi relevan untuk masyarakat Jepang yang menua dengan penurunan angka kelahiran dan tren pertumbuhan tunggal. Mungkinkah keluarga pluralistik ini menjadi alternatif bagi kebutuhan dasar manusia akan kasih sayang?

Pengungkapan yang lambat dari latar belakang keluarga, interaksi naturalistik, jarak kejutan dan kejutan yang bijaksana, semuanya adalah bukti dari seorang sutradara sinkron sempurna dengan materinya. Franky Lily dan Kirin Kiki adalah dua aktor yang sudah pernah bekerja sama dengan Koreeda dan keduanya tetap memberikan penampilan sempurna di sini. Koreeda menunjukkan bahwa ia masih memiliki sentuhan cekatan dengan aktor anak, sebagaimana yang pernah ia lakukan di Nobody Knows,sebuah film yang meraih penghargaan akting Cannes untuk Yuya Yagira yang baru berusia 12 tahun. Jyo Kairi memiliki resonansi hampir mirip dengan Yagira, baik dalam karakteristik fisik dan tingkah lakunya. Kematangan penampilannya sangat menakjubkan. Sakura Ando luar biasa sebagai sosok ibu, dibuat bijaksana oleh pengalaman pahit tetapi juga optimis dalam pendekatannya terhadap kehidupan dan selalu mengayomi semua keluarganya sehingga tidak jarang bagiannya kerap menimbulkan efek emosional yang mengharukan.

Secara keseluruhan, ini menunjukkan banyak masalah dalam masyarakat Jepang modern dan menawarkan sedikit cahaya untuk masa depan, yang mungkin menyimpang dari pendirian masyarakat umum selama ini, tradisi atau bahkan moralitas tetapi tetap dibangun dengan penuh semangat, harapan dan tingkat kepedulian yang tinggi. Koreeda tampak benar-benar peduli pada masyarakat dan sedang menjajaki alternatif lain mengenai apakah jika memilih sendiri keluarga kita, hal itu akan bekerja. Di dunianya dalam Shoplifters hal itu terjadi tetapi secara nyata sistem tampaknya tidak mengizinkannya. Tidak seperti Nobody Knows yang memiliki sinar cerah yang pada akhirnya memberi sinyal harapan, Shoplifters memiliki pandangan yang lebih pesimis, seolah-olah mengumumkan bahwa hal yang terjadi dalam film ini menjadi sesuatu yang mustahil dalam kenyatannya di pembentukan keluarga baru ini.

Seperti banyak film yang menyayat hati, kita pasti akan merasa seperti telah hidup seumur hidup dengan karakter-karakternya tapi ternyata kita hanya duduk selama dua jam melihat mereka dengan segala masalah yang mereka miliki, Really subtle script writing. Sad but also heartwarming. Shoplifters adalah sudut pandang yang penting dalam menyediakan banyak jawaban alternatif yang melibatkan apa yang selama ini kita anggap sebagai keluarga sejati. Seperti apa yang dikatakan oleh ibu dalam sebuah adegan kontemplatif di pantai “Sometimes, it’s better to choose your own family.” Film ini mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan besar tentang menjalani kehidupan yang baik dan mengambil tanggung jawab dalam masyarakat yang tidak peduli. Masterpiece!

Komentar