Ngasuh Ponakan
Pagi di ufuk timur lebih terik dan berangin. Tapi tiada pilihan lain. Kedua tungkai ini harus kembali mencicip dataran dan segala yang mendaratinya. Sambil bising.
Langit belum menyerah mencecar saya dengan perkara yang sama, tentang jalan setapak dan kegigihan saya untuk menyusurinya. Saya belum bisa menjawab kata tanpa mendongak. Mata makin terbiasa merunut buram di hadapan. Kelak semakin dekat semakin jelas, bukan? Saya hanya perlu melangkah dan sebentar saja menjadi tuli. Lalu meminjam senyum keponakan di kanan kiri. Tapi kemudian ada yang dengan mudah menyelinapi murungku dan meretasnya. Yakni ringan dan beningnya jiwa mereka yang rentan tersedu dan tertawa. Saya menjaga mereka dengan kekuatan. Mereka membayarnya dengan kemurnian dalam gelak tawa dan kaki-kaki mungil yang berjingkat riang.
Lamat-lamat, kepala ini mengurai tingkah saya sebulan belakangan. Betapa saya menobatkan gema di tenggorokan sebagai denting paling mengerikan. Betapa inginnya saya bersembunyi, menghindari bayangan sendiri tanpa ingin lagi membicarakan mimpi-mimpi. Saya melihat sekitar dan meringis geli. Mereka memanggilku Om, saya menyebut mereka bocah ingusan. Memang tubuh-tubuh itu tiga baginya dari tubuh saya, namun tiba-tiba saya merasa paling bungsu
sebab segeram-geramnya seorang anak yang kemauannya belum teramini, ia tidak akan sebegitu marahnya pada diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar